Kamis, 21 Agustus 2008

menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah fiqih ?

Fiqih dalam lintasan sejarah
oleh : H. Nasrullah, Lc
Fiqih pada zaman Rasulullah SAW belum terangkum dalam bentuk buku, pembahasan tentang suatu hukum fiqih pun pada masa itu tidak seperti pembahasan yang dilakukan oleh para ulama setelahnya, dimana mereka menjelaskanya dengan cara mengklasifikasikan suatu perkara hukum menurut rukun, syarat, dan adabnya. Namun pada masa keemasan itu yang terjadi adalah bahwa ketika Rasulullah SAW berwudhu, maka para sahabat RA melihat bagaimana beliau berwudhu, kemudian merekapun dengan keimanan mereka langsung mengikuti tata cara wudhu Rasul SAW tanpa mengatakan ini rukun, ini syarat, dan ini adab. Begitupun dalam ibadah yang lainya. Hal ini terjadi pada mayoritas kehidupan masa itu.
Hal ini disebabkan karena Rasulullah SAW adalah sumber hukum kedua setelah Al Qur’an yang memiliki kebenaran absolut (mutlak), dimana tidak ada seorang manusia dan jin pun yang menyimpang dari kedua sumber hukum tersebut kecuali mereka akan tersesat.
Kemudian pada masa setelah itu, para sahabat RA terpencar keseluruh pelosok bumi untuk mendakwahkan Islam keseluruh umat manusia. Mereka membawa petunjuk dari Rasulullah SAW, tentunya berdasarkan atas kemampuan, kapasitas, kekuatan menyerap, dan kelihaian mereka dalam menyimpulkan suatu perkara dalam menjawab dan menerangkan tentang suatu hukum yang terjadi dalam suatu masyarakat yang mereka tinggal didalamnya. Dalam hal ini mereka menggunakan perangkat Ijtihad[1] hukum dengan segala macam perangkatnya dalam pengambilan suatu hukum tertentu yang mungkin tidak ada pada masa mereka hidup bersama Rasulullah SAW.

Sebab ikhtilaf (perbedaan pendapat) pada masa Sahabat RA

Al Ikhtilaf Al fiqhi (perbedaan pendapat dalam masalah fiqih) sebenarnya telah terjadi sejak zaman sahabat sepeninggal Rasulullah SAW, hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya :

Ada seorang sahabat yang mendengar suatu hukum dalam suatu perkara tertentu atau dalam fatwa tertentu dari Rasul SAW, dimana sahabat yang lain belum pernah mendengarnya. Maka kemudian mereka berijtihad dengan pendapatnya. Dimana dari ijtihad mereka tersebut ada yang sesuai dengan Hadits Rasul SAW dan ada yang tidak sesuai yang kemudian setelah mereka mengetahui akan hal itu akhirnya mereka menarik pendapatnya tersebut.
Diantara mereka ada yang melihat suatu perbuatan Rasulullah SAW, yang mana sebagian mereka ada yang menganggapnya hal itu untuk suatu tqorrub (upaya mendekatkan diri) kepada Allah SWT, dan sebagian lain menganggap hal tersebut hanya suatu amalan mubah (boleh).

Kemudian pada masa Tabi’in (generasi setelah sahabat) ikhtilaf fiqhi pun banyak terjadi, karena mereka telah menuntut ilmu (berguru) dari para sahabat yang mulia tersebut dan mengambil riwayat hadits dari mereka. Maka dengan itu, munculah para fuqoha (ahli fiqih) dan ulama yang terserbar diseluruh kota kaum muslimin, seperti ‘Atho bin Abi Robah di Mekah, Sa’id bin al musayyab di Madinah, al Hasan di Bashrah, Thawus bin Kisan di Syam, dan yang lainya masih banyak lagi.
Kemudian setelah masa tersebut, munculah generasi baru yang meneruskan perjuangan dan tradisi ilmiah ulama dan fuqoha sebelumnya, mereka berguru dan mengambil ilmu dari para tabi’in yang nota bene mereka adalah muridnya para sahabat Nabi SAW. Dan pada masa inilah pembahasan tentang fiqih mulai dibukukan, maka munculah Imam Malik, Imam at Tsauri, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad – semoga Allah memuliakn mereka semua-. Dan dari sanalah mulai semaraknya kehidupan bertamadzhub (bermadzhab) dikalangan kaum Muslimin.

Bagaimana kita bersikap terhadap ikhtilaf fiqhi ?

Sebelum kita membahas hal tersebut ada satu hal yang wajib diimani oleh setiap muslim dalam segala macam aktivitas, sikap, perilakunya yaitu : kewajiban beramal dan berpatokan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Karena hal tersebut telah ditetapkan dan dijelaskan dalam Al Qur’an dan Al Hadits.[2]
Adapun tentang ikhtilaf, Imam Qotadah[3] pernah mengatakan bahwa : “barang siapa yang tidak mengetahuai Iktilaf (perbedaan pendapat), maka ia belum mencium wanginya fiqih dengan hidungnya sendiri”. Hal itu dikarenakan bahwa ketidak tahuan seseorang akan adanya ikhtilaf dalam masalah fiqih dapat menyeret orang tersebut kedalam kehancuran dan sikap penolakan terhadap kebenaran yang tidak ia ketahui, karena sesungguhnya suatu kebenaran itu tidak hanya terbatas pada perkataan satu orang ulama saja, siapapun dia. Sebagaimana dikatakan oleh Utsman bin ‘Atho[4] : “tidak diperkenankan bagi siapapun untuk memberikan fatwa kepada manusia sampai ia mengetahui akan ikhtilaf (perbedaan) yang ada pada mereka, karena kalau tidak begitu maka hal itu akan menyebabkan penolakan terhadap sutau ilmu yang lebih benar dari apa yang ada dalam dirinya”.
Sikap kita terhadap para ulama, lebih khusus empat ulama madzhab yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’I, dan Hambali. Adalah sebagaimana sikap yang telah dicontohkan oleh generasi kaum muslimin sebelum kita, yaitu menghormati dan mencintai mereka, ber wala’ (loyal) dengan mereka, menta’dzim (mengagungkan) mereka, dan memuji mereka karena ketinggian akhlak, ketaqwaan, dan ilmu mereka, mengambil ilmu dari mereka dan mengikuti pendapat mereka jika sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan Sunnah. Dan jika ada suatu perkara ijtihadiyah (tidak ada nash syar’I nya) maka kita perhatikan dan kaji pendapat para ulama tersebut serta mengambil dari mereka satu pendapat yang lebih mendekati atau cocok dengan dalil yang ada.
Ada dua hal yang perlu dicamkan disini, pertama, yaitu bahwasanya mereka (para ulama) adalah bukan golongan yang ma’sum (terhindar dari dosa) sebagaimana para Nabi AS. Dan setiap pendapat ulama wujub takhdhi’ li taqwim al marji’ain (keharusan tunduk kepada dua referensi utama yaitu al Qur’an dan al Sunnah). Dibawah ini ada beberapa pendapat para ulama empat madzhab, yang mana para ulama mengatakan bahwa pendapat tersebut tidak sesuai dengan Sunnah Rasul SAW, yaitu :

· pendapat Imam Hanafi – beliau adalah termasuk ulama yang lebih banyak berpendapat dengan ro’yu – yang mana beliau tidak mengamalkan hadits qodho (mahkamah) dengan satu saksi dan sumpah dalam kasus perdata.
· Pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa puasa enam hari dibulan syawal tidak ada dan juga beliau meninggalkan khiyar majlis dalam jual beli, padahal hal tersebut sudah disepakati keberadaanya oleh para ulama.
· Pendapat Imam Syafi’I yang mengatakan bahwa menyentuh perempuan (siapapun) dengan cara apapun tanpa penghalang adalah membatalkan wudhu, padahal banyak hadit yang menyatakan bahwa Rasul SAW sering mencium ‘Aisyah RA ketika hendak pergi ke Mesjid.
· Pendapat Imam Ahmad yang mengharuskan puasa pada hari yang meragukan, dengan alasan kahati-hatian bahwa romadhon telah masuk, padahal ada hadits yang melarang puasa pada hari yang diragukan.

Ini semua disebutkan bukan bermaksud mengurangi rasa hormat dan ta’zim kita kepada mereka, namun hanya untuk menegaskan bahwa semua orang bisa saja berpendapat salah, bukan karena mereka berniat salah. Namun hal itu setelah dilakukan setelah melalui usaha yang maksimal untuk berijtihad.
Kedua, harus diketahui bahwa tidak ada seorang pun dari ulama dan para Imam yang diterima keberadaanya dikalangan umat Islam dengan penerimaan yang umum bersengaja menyalahi ajaran Rasulullah SAW dalam hal apapun. Karena mereka seluruhnya telah bersepakat akan kewajiban mengikuti petunjuk Rasul SAW dan bahwasanya seluruh perkataan manusia itu bisa diterima ataupun ditolak, kecuali sabda Rasul SAW, semuanya wajib diterima.
Disini kami akan mengutip beberapa perkataan ulama empat madzhab[5] yang menegaskan bahwa hujjah (alasan) itu harus berdasarkan dalil (innama al hujjatu bi addalil), dan kewajiban mengikuti hadits serta meninggalkan taklid buta terhadap pendapat para ulama yang tidak sesuai dengan hadits, diantaranya :[6]

Imam Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit), perkataan beliau :
· hadits sohih adalah madzhabku
· tidak halal bagi siapapun mengambil (menggunakan) pendapat kami, sehingga ia tahu darimana kami mengambil pendapat tersebut (dalilnya)
· jika aku mengatakan suatu perkataan yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadits, maka tinggalkanlah perkataanku.
Imam Malik (Malik Bin Anas)
· sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia yang terkadang benar dan terkadang salah, maka perhatikanlah perkataanku (pendapatku), setiap yang sesuai dengan al Qur’an dan al Hadits maka ambilah, dan setiap yang tidak sesuai maka tinggalkanlah.
· Setiap orang perkataanya dapat diterima atau ditolak, kecuali perkataan Rasul SAW.
Imam Syafi’I (Muhammad Bin Idris)
· kebenaran adalah apa yang telah dikatakan oleh Rasul SAW, dan itulah mazhabku
· seluruh umat islam telah berijma’ (konsesus) bahwasanya jika sesuatu telah jelas baha itu sunnah Rasul SAW, maka tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat dari yang lainya
· setiap perkataanku jika tidak sesuai dengan perkataan Rasul SAW, maka tinggalkanlah.
Imam Ahmad (Ahmad bin Hambal)
· janganlah kalian taqlid (mengikuti tanpa dalil) kepadaku, juga Malik, Syafi’I, at Tsauri, atau Auza’I, tapi ambillah darimana mereka mengambil pendapat mereka tersebut (dalilnya).
· Pendapat Auza’I, Malik, atau Abu Hanifah semuanya adalah hanya pendapat dan itu bagiku adala sama kedudukanya, maka sesungguhnya hujjah (dalil sandaran) itu ada pada atsar (hadits).
Kesimpulanya, bahwa diantara faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:
1. Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash.
Kesahihan suatu nash (dalam hal ini Hadis) kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama yang mau menerima kesahihan suatu nash dan ada pula yang menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Ada seorang mujtahid yang menggunakan suatu Hadis sebagai hujjah karena perawinya ia anggap dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid lainnya Hadis tersebut ditolak, karena, menurutnya, perawi Hadis itu tidak dapat dipercaya.
2. Perbedaan dalam memahami nash.
Dalam suatu nash, baik Quran maupun Hadis, kadang-kadang terdapat kata yang mengandung makna ganda (musytarak), dan kata majazi (kiasan), sehingga arti yang terkandung dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash yang demikian ini, para ulama berbeda-beda dalam memahaminya. Misalnya kata قُرُوْءٍ (qur­’) dalam surah al-Baqarah (2): 228 mempunyai 2 arti, “suci” dan “haid”, sehingga dalam menafsirkan ayat tersebut para mujtahid berbeda pendapat. Di samping itu, perbedaan pemahaman ini juga disebabkan perbedaan kemampuan mereka satu sama lain.
3. Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang saling bertentangan.
Dalam suatu masalah kadang-kadang terdapat dua atau lebih nash yang bertentangan, sehingga hukum yang sebenarnya dari masalah tersebut sulit diputuskan. Untuk memutuskannya biasanya para ulama memilih mana nash yang lebih kuat (arja¥) di antara nash-nash itu, atau mencari titik temu di antara nash-nash tersebut. Dalam mengambil keputusan dan mencari titik temu inilah biasanya para ulama berbeda pendapat.
. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber intinbath.
Para mujtahid, dalam memilih suatu Hadis atau mencari suatu dalil, mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Suatu Hadits, yang oleh seorang mujtahid dijadikan sebagai dalil dalam suatu masalah, mungkin saja ditolak oleh mujtahid lain dalam masalah yang sama. Hal ini disebabkan sudut pandang mereka terhadap Hadis itu tidak sama. Ada mujtahid yang mengambil perkataan atau fatwa seorang sahabat Nabi dalam memecahkan suatu masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya, tidak mau mengambil fatwa sahabat tersebut. Begitu pula ada mujtahid yang menjadikan amaliah penduduk Medinah sebagai hujjah, tetapi oleh mujtahid lainnya ditolak. Hal ini karena mereka mempunyai metode yang berbeda dalam menentukan suatu hukum.
5. Perbedaan dalam perbendaharaan Hadis
Di antara para sahabat, kemungkinan besar, banyak yang koleksi Hadisnya tidak sama dengan sahabat lainnya. Hal ini karena tidak mungkin mereka selalu bersama-sama berkumpul atau mendampingi Nabi. Mungkin saja pada saat sahabat yang satu sedang bersama Nabi sedangkan sahabat yang lain tidak hadir, sehingga pada saat Nabi mengemukakan suatu masalah ia tidak tahu. Oleh karena di antara para sahabat sendiri koleksi Hadisnya tidak sama, maka sudah barang tentu di antara para mujtahid pun akan terjadi hal yang sama. Perbedaan koleksi Hadis yang dimiliki para mujtahid ini pada gilirannya akan menyebabkan mereka berbeda pendapat.
6. Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum
Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah=sebab) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Sebagai contoh, dalam Islam kita diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah. Para mujtahid berbeda pendapat tentang siapa jenazah itu, orang Islam, orang Kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah kedua-duanya, jenazah orang Islam dan Kafir. Jadi, umat Islam diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah, baik jenazah orang Islam maupun orang Kafir. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa perintah untuk berdiri itu hanya terhadap jenazah orang Kafir. Hal ini karena di dalam sebuah Hadis diterangkan bahwa pada suatu hari, ketika sedang berjalan, Rasulullah saw. bertemu dengan jenazah orang Yahudi, lalu beliau berhenti dan berdiri.
Untuk itu, Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam fikih harus disikapi dengan arif dan bijaksana. Kita tidak boleh bersikap apriori dengan langsung menyalah-kan satu pendapat dan membenarkan pendapat lainnya. Sikap apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di kalangan umat. Masalah yang biasanya menimbulkan perbedaan pendapat dalam fikih adalah masalah furu’iyah (cabang), bukan masalah pokok. Oleh karena itu, mempertajam pertentangan atau perbedaan pendapat dalam maslah cabang ini hanyalah membuang-buang waktu dan energi.
Sebenarnya di antara para imam mazhab sendiri tidak ada satu pun yang merasa pendapatnya paling benar. Mereka tidak saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan. Bahkan di antara mereka tidak ada yang menyuruh orang untuk hanya mengikuti pendapat mazhabnya, karena mereka menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lupa. Dalam riwayat shahih dari Amr bin Ash, bahwasannya Nabi bersabda,
“Apabila seorang hakim berijtihad kemudian benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila salah dalam ber-ijtihad kemudian salah, maka dia mendapatkan satu pahala“(HR Bukhari dan Muslim).
Jelas bahwa seorang mujtahid dengan kesalahannya tetap mendapatkan pahala karena usahanya dalam berijtihad, sedangkan kesalahannya terampuni, sebab untuk mendapatkan pemahaman yang benar pada seluruh hukum -syariat- adalah sesuatu yang tidak mungkin atau sangat sulit dilakukan. Allah berfirman:
“….Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (QS Al- Baqarah:185)
Penutup, disini kami ingin menegaskan bebera kaidah penting dalam bab ini, diantaranya adalah bahwa :
· Al Qur’an dan As Sunnah yang suci adalah referensi asasi bagi setiap Muslim dalam pengambilan hukum-hukum Islam, dan al Qur’an harus difahami sesuai kkaidah bahasa arab dengan tanpa takalluf (membebani diri) dan tidak berlebihan, adapun as Sunnah yang suci harus disandarkan kepada rijal al hadit (para periwayat) yang tsiqot (terpercaya)
· Setiap orang perkataanya bisa diambil bisa juga tidak, kecuali al ma’sum (yang terhindar dari dosa) yaitu Rasulullah SAW, dan setiap yang datang dari salafushalih RA yang sesuai dengan al Qur’an dan as Sunnah, maka kita menerimanya, dan jika tidak sesuai dengan keduanya maka al Qur’an dan as Sunnah lebih utama (harus) untuk diikuti, namun kita tidak boleh mencela dan menyakiti orang lain dalam masalah khilafiyah dan kita serahkan saja pada niat-niat mereka, karena pada hakekatnya mereka telah bersungguh-sungguh (berijtihad) untuk itu.

Wallahu a’lam bishowab…..




Buku Rujukan utama :
1. kitab Sohih Fiqih Sunnah wa adillatuhu wa taudlih madahi al arba’ah, Syaikh Abu Malik Kamal bin al sayyid salim, al maktabah al waqfiyah
2. kitab Fahmu al Islam fi zilal al ushul al ‘isyrin, Jum’ah Amin ‘abdul Aziz, dar al dakwah, alexandria, mesir
3. beberapa artikel sebagai bahan pelengkap

[1] Ijtihad dalam Islam adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui hukum syar'i dari dalil-dalil syari'atnya lihat Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin dalam fatawa mu’asirohnya
[2] Buka QS al a’raf :30, an-Nisa : 61 dan 65, al Ahzab : 21, dan yang lainya.
[3] Kitab jami’ bayan al ilmi wa fadhlihi 2/46
[4] Ibid
[5] mazhab adalah metode tertentu dalam menggali hukum syariah yang bersifat praktis dari
dalil-dalilnya yang bersifat kasuistik. Dari perbedaan metode penggalian hukum inilah,
kemudian lahir mazhab fikih. Lihat kamus fikih, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie.
[6] Sohih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik hal 39-42
Diposting oleh H. Nasrullah, Lc di 18:10 0 komentar

Tidak ada komentar: